Judul Buku : 9 Dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG
Tebal : 270 halaman
Tahun Terbit : 2009
Kategori : Fiksi, Kumcer
My Rated : 4/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas sebuah novel karya Leila S. Chudori yang ceritanya benar-benar menyesakkan. Judulnya 9 dari Nadira.
#DESKRIPSI
Di sebuah pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya tewas bunuh diri di lantai rumahnya. Kematian sang ibu, Kemala Yunus - yang dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bertarung mencari diri - sungguh mengejutkan.
Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak ("Melukis Langit"); seorang wartawan ("Tasbih"); seorang kekasih ("Ciuman Terpanjang"); seorang istri, hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke dunia yang baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya ("Kirana"),
#ULASAN
Karya ketiga dari Ibu Leila S. Chudori yang pernah kubaca. Kali ini judulnya 9 dari Nadira, berisi 9 cerpen yang setelah kubaca semuanya ternyata sebuah kesatuan kisah yang utuh. Meskipun ada part-part yang bisa berdiri sendiri. Alur ceritanya tidak linier dan jeda waktunya loncat-loncat cukup jauh. Tapi hebatnya sentuhan penulis, aku dibuat tersedot ke dalam momen-momen penting kehidupan Nadira.
Gaya bercerita dan plotnya menjadi keunikan dari buku ini. Pembaca dituntut menyusun keping-keping cerita hidup Nadira. Nadira sebagai poros yang merangkai tokoh-tokoh lainnya seperti Nina dan Arya sebagai dua kakaknya, Kemala sang ibu, Bram sang ayah, dan Utara Bayu sesosok lelaki yang mencintai Nadira dalam hening.
Ya, Nadira Suwandi namanya, tokoh utama yang kisahnya menimbulkan kesan menyesakkan. Seorang jurnalis muda dengan beban psikologis yang berat dirasanya selepas kematian sang ibu. Beban psikis ini yang kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira sebagai seorang anak, wartawan, kekasih, istri dan akhirnya menjadi ibu.
Membaca buku ini, pembaca disuguhkan konflik-konflik psikologis yang berat, baik tersirat maupun tersurat. Diantara 9 cerpen dalam buku ini, “Tasbih” menjadi favoritku. Ada part dimana Nadira mewawancarai Mr. X, tersangka kasus pembunuhan sadis, dikenal juga sebagai psikiater ternama. Disini, perasaan Nadira benar-benar diuji, dengan lihainya Mr. X ‘memaksa’ Nadira membuka kembali kamar gelap yang selama ini berusaha ia kunci rapat-rapat -tentang ibunya yang mati bunuh diri. Selain konflik psikologis, buku ini juga menyajikan tema-tema tentang jurnalisme, cinta, tradisi dan harga diri.
Isu-isu politis pun disisipkan secara tersirat dalam buku ini, seperti Petisi 50, demo mahasiswa ’66, Malari, tentang NKK/BKK, premanisme di era Orde Baru, mundurnya Presiden Gusdur, hingga isu seputar 9/11 serta wacana War on Terorism.
Ceritanya memang gelap, tapi justru gelap ini yang membuat cerita Nadira luar biasa. Setiap manusia pasti pernah salah dalam membuat keputusan, tapi itulah bagian dari pendewasaan. Dari situ kita belajar untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan. Dan terkait beban psikis yang berat, tidak ada orang yang ingin terus-menerus dalam posisi itu. Namun, bangkit dan sembuh dari keterpurukan memang bukan hal mudah, perlu waktu, penuh perjuangan dan mungkin perlu juga bantuan dari orang lain.
Beberapa quote tentang jurnalisme yang kusuka di buku ini:
“Ayah cuma mau menasihati, meski kau tak setuju dengan kebijakan politik pejabat yang kau wawancarai, kau harus tetap bersikap netral. Sebaliknya, kalau mewawancarai Cory Aquino, mentang-mentang perempuan jangan lantas jatuh sampai tak karuan. Dingin. Kau harus tetap dingin.” (79)“Masyarakat wartawan, di mata Nadira adalah sebuah masyarakat yang selalu menuntut hal-hal yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal. Sebuah masyarakat yang terkadang secara tidak sadar, merasa moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai ‘masyarakat awam’.” (80)“Lo, masalahnya dia itu narasumber. Bajingan atau pahlawan, kita harus tetap sopan dan bertugas mewawancarai.” (200)