Senin, 27 Maret 2023

INDONESIA, ISRAEL, DAN FIFA DALAM KONTROVERSI PIALA DUNIA U-20 2023

 

(FIFA via Getty Images/Tom Dulat - FIFA)



        Hari-hari ini warganet ramai memperbincangkan pembatalan drawing Piala Dunia U-20 2023 di Bali, Indonesia. Pembatalan oleh FIFA ini diduga kuat akibat gelombang penolakan terhadap Timnas U-20 Israel untuk bermain di Indonesia pada 10 Mei-11 Juni 2023. Para penolak ini beragam, mulai dari gubernur, politisi, agamawan, dan berbagai ormas.

        Bermacam argumen, narasi, dan provokasi bermunculan. Narasi paling kencang tentu atas dasar yuridis, yaitu mematuhi Konstitusi/UUD 1945 yang menolak penjajahan di atas dunia. Kedua, secara politis, Indonesia selalu konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan meminta dunia internasional agar mematuhi Resolusi Nomor 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang disahkan pada 1967. Resolusi itu mendesak Israel menarik mundur seluruh pasukannya dari tiga wilayah Palestina, yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur. Secara politis, Israel adalah negara yang tidak akan pernah diakui eksistensinya oleh negara Indonesia, sampai Israel mengakui kemerdekaan dan kedaulatan negara Palestina.

        Pemerintah Indonesia dan PSSI saat ini menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, harus siap menerima dan menjamin keamanan seluruh peserta, termasuk Timnas Israel U-20. Di sisi lain, ada desakan sebagian masyarakat, agar pemerintah menolak kedatangan timnas Israel U-20. Seakan-akan harus memilih antara berkhianat terhadap konstitusi atau siap menanggung segala sanksi apabila Indonesia dianggap gagal menjadi tuan rumah. Rumit, bukan? Seakan tidak ada win-win solution untuk situasi ini, sampai ada warganet yang menulis, “Timnas Israel apa nggak mau mengundurkan diri saja? Turu wae, ra resiko.”

        Kontroversi kedatangan Timnas Israel ini merupakan salah satu tanda kalau kita nggak siap dan (mungkin) nggak akan pernah siap menjadi tuan rumah event sepakbola dunia. Bagaimana tidak, mitigasi risiko dari Pemerintah dan PSSI patut dipertanyakan. Apalagi kalau dilihat dari respons pejabatnya yang yaaa sudah hafal lah ya… terkesan normatif dan menyepelekan. Menpora pernah bilang kalau perkara ini sudah dibahas sejak 2019. “Semua negara yang lolos Piala Dunia U-20 dipersilakan untuk bermain”. Statement serupa muncul dari Exco PSSI, “Siapapun yang lolos bisa datang.” Termasuk Timnas Israel. Tentu kalian masih ingat betapa ‘enteng’-nya respon pejabat ketika awal pandemi Covid dulu? Hmmm serupa, tapi tak sama.

      Oh iya, ada juga narasi “pisahkan sepakbola dari politik”. Hmmm lha wong FIFA-nya saja berpolitik kok! FIFA itu ya bermain politik. Tengok saja sikap FIFA pada Rusia. Karena menyerang Ukraina, FIFA menghukumnya sangat berat. Akibat keputusan FIFA-UEFA, timnas Rusia tak bisa menjalani laga playoff Piala Dunia 2022 dan absen di Qatar. Klub Rusia Spartak Moskow juga dicoret dari babak 16 besar Liga Eropa. Hayo, piye? Semakin runyam, bukan?
        
        Sebagai warga negara biasa, saya hanya bisa berharap, ya meski sulit, ada solusi yang mengakomodir dua narasi besar ini. Di satu sisi, kita harus menghargai mereka yang berpegang pada UUD 1945 untuk menolak. Kita pun harus menghargai mereka yang tak ingin mencampuradukan olahraga dan politik. Mungkinkah?

        IOC sudah memberi contoh luar biasa saat Olimpiade Tokyo, 2020 lalu. Karena Rusia dihukum karena invasinya ke Ukraina, maka negara itu dilarang tampil. Rusia sebagai negara dilarang, tapi atletnya tidak. Maka munculah bendera NOC Rusia. Si atlet tetap boleh berlaga, tetapi simbol negara: bendera dan lagu kebangsaannya dilarang. Nah, mungkin ini bisa jadi jalan terbaik. Apalagi duta besar Palestina di Jakarta juga tidak mempermasalahkan sepanjang pandangan politik Indonesia pada Palestina tidak berubah.