Cover Buku Cinta Tak Ada Mati (Sumber : Gramedia) |
Judul Buku : Cinta Tak Ada Mati
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 153 halaman
Tahun Terbit : 2018
Kategori : Fiksi, Kumpulan Cerpen
My Rated : 4/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku ke-4 karya Eka Kurniawan yang pernah aku baca. Judulnya Cinta Tak Ada Mati, buku ini aku baca di IPUSNAS, beruntung, karena tidak perlu mengantre.
Cinta Tak Ada Mati adalah kumpulan cerpen karangan Eka Kurniawan yang berisi 13 judul cerpen. Semua cerpen ini penha terbit di berbagai media seperti Tempo, Media Indonesia, Kompas, dan lain-lain. Ada pula cerpen yang terbit di Jurnal Cerpen Indonesia, judul cerpennya ‘Bau Busuk.’ Dari ke-13 judul cerpen, ada tiga yang menjadi favoritku, yaitu ‘Bau Busuk’, ‘Kutukan Dapur’ dan ‘Mata Gelap’.
‘Bau Busuk’ ini paling unik dari cerpen yang lain, karena Eka menuliskan satu kalimat yang sangat panjang dalam sembilan halaman. Bermula dari “Bau busuk menyeruak dari jalan-jalan dan lorong-lorong…” berlanjut dengan mulusnya sampai sembilan halaman tanpa titik, mengisahkan sebuah peristiwa pembantaian yang tragis tak terlupakan dan kemudian diakhiri dengan bernas,
“…bahwa kami orang-orang di Halimunda tak peduli berapa mayat pun akan kalian bunuh dan sehebat apa pun baunya karena sejarah telah membuat kami tahan terhadap horor macam apa pun dan kami bahkan terbiasa melupakannya dengan cepat karena manusia pada akhirnya mati dan mayat pada akhirnya menyebarkan bau busuk, dan kami tetap membaca koran dan minum kopi dan bermain sepakbola serta membuat anak, hidup berbahagia di tengah bau busuk, jika kau pikir udara semacam ini hendak kau namai sebagai bau busuk, sambil tetap memelihara kesalehan kami.”
-Eka Kurniawan
Pada cerpen ‘Kutukan Dapur’, Eka menggambarkan tokoh perempuan yang ahli dalam meracik masakan bernama Maharani sebagai sosok yang kesehariannya terpenjara antara dapur dan tempat tidur. Berbekal pengetahuan tentang makanan, penguasaan dapur dan terinspirasi dari kisah ‘heroik’ Diah Ayu yang dikisahkan pernah melakukan perlawanan dari dapur terhadap orang Belanda pada 1878, ia kemudian tersadarkan bahwa dapur bukan hanya ruangan terkutuk. Tapi, dari dapur ia bisa melakukan perlawanan, pemberontakan terhadap ‘budaya’ yang sering menjadikan dapur sebagai penjara kutukan bagi perempuan sehingga tidak dapat berkeasi di ruang publik.
“…dirinya tinggal di negeri yang telah diciptakan Tuhan sebagai surga bagi segala yang tumbuh. Dan segala yang tumbuh, hampir bisa dimakan. Kukatakan hampir, karena beberapa bisa bikin kau sekarat jika memakannya, tapi bikin kau hidup jika kau memakannya dalam keadaan sekarat. Itu rahasia-rahasia yang paling sulit, hanya dikenali jika kau telah mengenalnya selama berabad-abad, diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.”
-Eka Kurniawan
Lalu untuk cerpen 'Mata Gelap' ini berbau satire terhadap ‘suatu hal’ atau ‘sesiapa’ yang begitu ditakuti oleh ‘Jin Berkepala Tujuh’ -begitu Eka menyebutnya- yang berkuasa di suatu negeri. ‘Suatu hal’ atau ‘sesiapa’ itu tercermin pada sosok lelaki yang pada mata, telinga, hidung, mulut, kaki, tangan, bahkan suara perutnya pun dianggap ‘membahayakan’ sehingga harus dilenyapkan sedemikian rupa. Sudah lenyap pun, masih belum puas, sudah jadi ‘hantu’ pun masih diburu. Menurut kalian, lelaki ini menggambarkan ‘Apa’ atau ‘Siapa’ ???
Semua cerpennya menarik, tema-tema yang berbeda membuat imajinasiku melompat-lompat dari satu ‘dunia’ ke ‘dunia’ lain wkwk. Intinya, selalu ada pesan mendalam entah itu tentang sejarah atau pun kehidupan sehari-hari yang harus ditelisik dulu dalam tiap kalimat yang ditulis Eka Kurniawan ini. Maka, tidaklah heran kalau nama Eka Kurniawan pernah dinobatkan sebagai salah satu Global Thinkers tahun 2015 oleh Jurnal Foreign Policy atas pencapaiannya meletakkan kembali sastra Indonesia dalam peta sastra dunia !
“Selalulah berpikir sebagai diri yang lain. Ketika kau menyabet, renungkanlah kau disabet dengan cara yang sama,”
-Eka Kurniawan
ijin kutip untuk simantab.com ya mas
BalasHapus