Kamis, 22 Juni 2023

Belajar Hidup Ramah Lingkungan dari Suku Baduy

 

Suku Baduy (Dinas Pariwisata Prov. Banten)

Peradaban manusia di abad ke-21 sudah semakin modern. Globalisasi, perkembangan teknologi, digitalisasi, saling berkelindan mengisi dimensi-dimensi kehidupan masa kini. Mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, semua dituntut beradaptasi dengan kebudayaan modern yang tak kenal batas ruang dan waktu. Berbagai teknologi dengan segala kecanggihannya hadir memikat umat manusia dengan sifat-sifatnya yang praktis, cepat, efektif, dan efisien. Sayangnya, kemudahan yang diberikan oleh teknologi menyisakan efek samping berbahaya berupa kerusakan lingkungan. Efek rumah kaca, polusi udara, pencemaran air, hutan gundul, tumpukan sampah yang sulit terurai, krisis iklim, dan masih banyak lagi, adalah ekses dari aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia yang tak ada habisnya.

Sikap manusia yang tergantung pada teknologi memang tak terelakkan. Namun, bukan berarti kita menutup mata terhadap kerusakan alam yang ada dan nyata mengancam keberlangsungan hidup generasi mendatang. Oleh karenanya, diperlukan kesadaran bersama dari diri kita masing-masing untuk memulai, sedikit demi sedikit, membudayakan hidup ramah lingkungan. Hal ini bisa distimulasi dengan menginternalisasi nilai-nilai ramah lingkungan yang melekat dalam kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia. Berikut merupakan kisah menarik dari salah satu suku di Indonesia yang senantiasa menjaga kearifan lokal dan hidup berdamai dengan alam. Kisah ini saya rangkum dari berbagai sumber dan semoga dapat menjadi refleksi bagi kita semua.

 

Mengenal Suku Baduy

Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang diyakininya ditengah kemajuan peradaban. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang. Adat, budaya, dan tradisi masih kental mewarnai kehidupan masyarakat baduy. Hal utama yang mewarnai keseharian mereka, yaitu bersahabat dengan alam yang alami dan hingga saat ini masyarakat Baduy masih berusaha tetap bertahan pada kesederhanaannya di tengah kuatnya arus modernisasi di segala segi (Kameswari, 2020).

Kepercayaan masyarakat Kanekes atau suku Baduy yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes atau suku Baduy. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau ‘perubahan sesedikit mungkin’. Kelompok masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam (Suryani, 2014).

            Masyarakat suku Baduy adalah cerminan masyarakat adat yang senantiasa kukuh terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut keyakinan mereka, menjaga dan memelihara alam adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Hal ini bertujuan agar tetap terjaganya keseimbangan alam sehingga dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan manusia.

 

 

Hidup Sederhana

Sederhana dan kesederhanaan merupakan titik pesona yang melekat pada suku Baduy. Hingga saat ini suku Baduy masih tetap bertahan pada kesederhanaannya di tengah kuatnya arus modernisasi di segala segi. Bagi mereka kesederhanaan bukanlah kekurangan dan ketidakmampuan, akan tetapi menjadi bagian dari arti kebahagiaan hidup sesungguhnya. Di tengah kehidupan modern yang serba nyaman dengan listrik, kendaraan bermotor, hiburan televisi serta tempat-tempat hiburan yang mewah, suku Baduy masih setia dengan kesederhanaan, hidup menggunakan penerangan lilin atau lampu minyak (lampu templok). Tidak ada sentuhan modernisasi disana, segala sesuatunya sederhana dan dihasilkan oleh mereka sendiri, seperti makan, pakaian, alat-alat pertanian dan sebagainya. Meski demikian, mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada disekitarnya. Kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya adalah ajaran utama suku Baduy. Dari kedua unsur tersebut, dengan sendirinya akan muncul rasa gotong royong dalam kehidupan mereka. Tidak ada rasa iri satu dengan lainnya karena semuanya dilakukan secara bersama-sama. Kepentingan sosial selalu dikedepankan sehingga jarang dijumpai kepemilikan individu. Tidak ada kesenjangan sosial maupun ekonomi antara individu pada suku Baduy (Suryani, 2014).

Bagi masyarakat Baduy, kesederhanaan ditengah perkembangan zaman bukan berarti ketertinggalan. Kesederhanaan justru memberi arti kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hidup dengan apa adanya, mensyukuri yang ada, dan yang terpenting bagi mereka semesta terpelihara.

 

Bersahabat dengan Alam

Segala hal yang alami, yang berhubungan dengan alam adalah sahabat suku Baduy. Hal ini terlihat dari letak geografis mereka tinggal. Lingkungan tempat tinggal mereka tidak dijangkau oleh transportasi modern, dan terpencil di tengah-tengah bentangan alam pegunungan, perbukitan rimbun, serta hutan lengkap dengan sungai dan anak sungai, juga hamparan kebun dan ladang (huma). Suku Baduy secara umum telah memiliki konsep dan mempraktikan pencagaran alam (nature conservation). Misalnya mereka sangat memperhatikan keselamatan hutan, hal ini mereka lakukan dengan menjaga hutan (Suryani, 2014). Kearifan lokal suku Baduy dengan menjaga kelestarian hutan ini agaknya menampar para manusia modern yang memiliki kewenangan menjaga hutan Indonesia. Pasalnya, menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020 (BBC News, 2021).

Ada beberapa kebijakan adat yang diberlakukan di Baduy Dalam. Pertama, larangan panen setahun dua atau tiga kali karena masyarakat Baduy khawatir tubuh mereka akan terlalu kelelahan jika bekerja terlalu keras. Kedua, larangan menggunakan barang-barang hasil produksi pabrik, seperti sabun, shampo dan pasta gigi. Bahkan, penggunaan pupuk anorganik dan pestisida buatan pabrik juga dilarang di daerah ini. Untuk mengakalinya, masyarakat Baduy menggunakan daun cicaang atau daun honje untuk keperluan mandi dan menerapkan pertanian organik (Rodhiya, 2018).

Ketaatan masyarakat Baduy dalam menerapkan hukum adat inilah yang akhirnya membuat mereka hidup bersahabat dengan alam, menerapkan nature conservation sehingga hutan tetap utuh, tidak mencemari sungai sehingga aliran airnya bersih, dan cukup panen setahun sekali agar keseuburan lahan pertanian tetap terjaga.  

 

Pertanian yang Ramah Lingkungan

Aktivitas ekonomi suku Baduy untuk menunjang kehidupan perekonomiannya adalah bertani. Aspek ekonomi yang diajarkan hanya sederhana yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Menurut suku Baduy, sistem berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan kepercayaan serta ideologi hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan secara besar-besaran pada alam karena justru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam. Dengan sistem berladang, mereka tidak melakukan perubahan bentuk alam karena mereka menanam mengikuti alam yang ada. Mereka menanam padi dan tumbuhan lainnya sesuai dengan kontur lereng dan mereka tidak membuat terasiring. Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi teknis, tetapi hanya memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan penggunaan air sungai atau mata air untuk mengairi sawah karena ada anggapan pada suku Baduy bahwa membelokkan arah sungai akan merusak keseimbangan alam (Suryani, 2014).

 

 

Pengobatan Tradisional

Dalam hal kesehatan, suku Baduy memilih tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional mereka. Berbagai penyakit yang menimpa suku Baduy diatasi dengan cara tradisional yaitu diobati oleh obat-obatan alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sedangkan untuk peralatan hidup mereka menggunakan tumbuhan bambu sebagai teman hidupnya. Bambu dengan segala kelebihannya telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidup manusia. Hampir tidak ada dari bagian tumbuhan ini, mulai dari akar hingga pucuk dan daun-nya yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu sering dipakai sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) bambu dibuat sayuran, dan batang bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah tempat bekas rumpun bambu adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang (Suryani, 2014).

            Di tengah ingar-bingar perkembangan arus teknologi dan informasi yang membawa banyak masyarakat Indonesia menjadi manusia modern, ternyata masih ada sekelompok masyarakat tradisional yang tetap memegang teguh kearifan lokalnya. Kelompok masyarakat ini dikenal dengan Suku Baduy yang bermukim di kaki pegunungan Kendeng, Banten. Masyarakat Baduy adalah eksistensi unik dari manusia yang memegang teguh ajaran leluhurnya untuk senantiasa menjaga dan melestarikan alam. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tersebut mereka implementasikan secara nyata dalam kehidupan yang sederhana, bersahabat dengan alam, dan memanfaatkan apa yang alam sediakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Kisah-kisah seputar masyarakat Baduy yang hidup berdamai dengan alam seperti ini layak disebarluaskan, diapresiasi, dan dijadikan refleksi bagi masyarakat umum. Tentu saja bukan untuk menjiplak apa yang diterapkan masyarakat Baduy, karena rasanya itu tidak mungkin terjadi. Maka, refleksi dari nilai-nilai karakter seperti hidup ramah lingkungan dan tidak merusak alam sekitar hendaknya terinternalisasi dalam diri kita masing-masing. Sehingga, bermula dari kesadaran individu tentang rasa cinta pada alam, harapannya dapat berkembang menjadi kesadaran kolektif bahwa manusia memang tidak bisa hidup tanpa alam.

 

 

Daftar Pustaka:

BBC News. 2021. Indonesia Termasuk Negara Pembabat Hutan Terbanyak, Menteri LHK: 'Pembangunan Era Jokowi Tidak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi'. Diakses melalui website https://www.bbc.com/, 27 Mei 2023 (09.23 WIB).

Kameswari, D. and Yusup, M., 2020, July. Kearifan Lokal Bercocok Tanam Pada Masyarakat Pedalaman Suku Baduy. In SINASIS (Seminar Nasional Sains) (Vol. 1, No. 1).

Rodhiya, F. 2018. Kesejahteraan Ramah Lingkungan Suku Baduy. Diakses melalui website https://www.hipwee.com/, 26 Mei 2023 (08.35 WIB).

Suryani, I., 2014. Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy (Studi Kasus Pada Acara Feature Dokumenter “Indonesia Bagus” di Stasiun Televisi Net. TV). Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam13(2), pp.179-194.