Judul Buku : Pengakuan Algojo 1965
Penulis : Kurniawan dkk
Penerbit : TEMPO Publishing
Tebal : 177 halaman
Tahun Terbit : 2013
Kategori : Non-Fiksi, Investigasi
My Rated : 4/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang mengungkap sudut pandang para ‘algojo’ dalam tragedi pembasmian orang-orang yang dianggap komunis pasca G30S 1965. Buku ini berjudul Pengakuan Algojo 1965 karya Kurniawan dkk.
#DESKRIPSI
Kebijakan pemberantasan orang-orang PKI dan para simpatisannya menyulut api pembunuhan yang membakar Jawa dan Bali, dan terus menyebar ke daerah lain. Algojo bermunculan. Atas nama dendam pribadi, keyakinan, atau tugas negara, para algojo menghunus pedang menyembelih mereka yang dicap PKI. Mayat mereka dibuang begitu saja ke jurang, sungai, atau luweng. Mengapa para pelaku tak merasa bersalah atas perbuatannya?
Buku ini mencoba melihat peristiwa 1965 dari perspektif para algojo tanpa niat membuka aib atau menyudutkan para pelaku. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik PKI dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-ekonomi pada masa itu pula.
[Pernah dimuat dalam Liputan Khusus Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012]
#ULASAN
Buku ini merupakan kumpulan liputan khusus yang pernah dimuat di majalah TEMPO. Upaya yang dilakukan oleh TEMPO ini bertujuan untuk menengok kembali sejarah ‘pembantaian’ pasca G30S yang jarang dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Dengan menyimak perspektif dari para ‘algojo’ ini kita bisa merasakan bagaimana kondisi psikologis dan suasana kehidupan bermasyarakat pada saat itu. Kita tahu kondisi politik Indonesia pada waktu itu sangatlah panas dan kompleks. Sebelum G30S, PKI merupakan partai yang memiliki basis massa yang banyak, konflik dengan berbagai pihak terjadi di banyak daerah. Suasana ini menciptakan ‘api dalam sekam’ yang meledak pasca G30S. Luapan pembalasan dan amarah ini semakin menjadi-jadi karena terus-menerus dipompa oleh ‘proyek’ rezim Orde Baru untuk menumpas komunisme sampai ke akar-akarnya.
Dari pengakuan para ‘algojo’ ini terungkap fakta memilukan bahwa diberbagai daerah terutama Jateng dan Jatim telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan dan penculikan merupakan buah dari kebijakan pembasmian orang-orang komunis oleh negara. Jumlah yang terbunuh ada berbagai versi, mulai dari puluhan ribu sampai jutaan nyawa. Sungguh sebuah tragedi berdarah yang jangan sampai terulang lagi.
Perlu kiranya kita menyadari bahwa yang menjadi korban dari tragedi 1965 bukan hanya para pahlawan revolusi dan keluarganya, tetapi juga orang-orang yang dituduh PKI / simpatisan komunis yang tidak penting ada atau tidak kaitan mereka dengan G30S tetapi semuanya divonis bersalah dengan stigma kejam ‘terlibat pemberontakan.’ Begitu pun keluarga dan anak-cucu mereka di masa mendatang harus menerima ‘stempel’ dari masyarakat sebagai ‘pengkhianat negara’ atau ‘terlibat G30S.’ Lebih dari itu, akal sehat generasi pasca G30S juga turut menjadi korban karena selama 30 tahun mereka dicekoki propaganda, indoktrinasi, fitnah, penipuan sejarah, pembodohan dan teror negara.
Ada satu narasi besar yang coba disuarakan dalam buku ini, yaitu REKONSILIASI. Namun, upaya bijaksana untuk ‘mengobati’ luka masa lalu ini ternyata tidaklah mudah. Persoalan utama dari sulitnya rekonsiliasi secara nasional ini bukan semata masalah prosedural, melainkan lebih kepada para ‘algojo’ yang tak mau mengakui kesalahannya. Ini terjadi akibat berbagai apologi yang terus-menerus digencarkan bahwa tindakan mereka itu demi mempertahankan kedaulatan negara dan mereka merasa memiliki ‘license to kill.’ Pembenaran yang tertanam dalam diri para ‘algojo’ ini diperkuat oleh propaganda rezim Orde Baru dengan narasi perjuangan heroik. Apologi-apologi ini ibarat tiang penyangga atas ‘kebanggaan’ yang mereka yakini. Kemungkinan terjadinya rekonsiliasi akan terbuka jika tiang-tiang penyangga itu roboh sehingga ‘kebanggaan’ semu yang mereka yakini akan perlahan runtuh.
“Tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi itu bangkrut. Uni Soviet porak-poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang usang dan sia-sia.”
-Kurniawan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)