Judul Buku : Kenangan Tak Terucap – Saya, Ayah, dan Tragedi 1965
Penulis : Nani Nurrachman Sutojo
Penerbit : Kompas
Tebal : 228 halaman
Tahun Terbit : 2013
Kategori : Non-Fiksi, Memoar, Sejarah
My Rated : 4,5/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang merupakan memoar dari anak salah satu pahlawan revolusi yang dibunuh pada peristiwa G30S 1965. Buku ini berjudul Kenangan Tak Terucap – Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 karya Nani Nurrachman Sutojo.
#DESKRIPSI
Sejarah bangsa Indonesia tidak dapat dipenggal-penggal. Dia juga bukan tafsir satu pihak untuk kepentingan praktis. Sejarah bangsa Indonesia disusun dari penggalan-penggalan kisah individual warga negara. Ia menyatu dalam pergolakan batin setiap warga secara umum sepanjang peristiwa ke peristiwa.
“Sesuatu capaian yang jelas memerlukan kemauan dan ketahanan diri yang hanya penulis sendiri yang bisa merasakan secara menyeluruh. Kita sebagai pembaca dan pengamat bisa ikut merasakannya, tetapi tidak selalu bisa benar-benar menghayati apa artinya kemauan menggumuli secara berkelanjutan suatu peristiwa traumatis dalam kehidupan pribadi dan kemudian memutuskan untuk membaginya dengan orang lain. Inilah sumbangan penting memoar ini.”
-Prof. Dr. Saparinah Sadli, Guru Besar Psikologi UI dan Pemerhati Isu Perempuan.
“Perlu dibaca oleh sebanyak mungkin orang yang ingin lebih beradab. Berbagai macam konflik di akar rumput belum menemukan jalan keluarnya, sebagai warisan Orde Baru. Maka, rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri dan itu sudah dimulai oleh Mbak Nani.”
-Putu Oka Sukanta, Sastrawan, Tapol Order Baru
“Ini bisa dibaca sebagai langkah untuk membebaskan ingatan personal dari tekanan sejarah resmi. Menuju sejarah Bersama atau shared history yang mempertemukan suara dan ingatan para korban tentang penderitaan. Sangat diperlukan negeri ini untuk keluar dari jerat trauma masa lalu.”
-Dr. Hilmar Farid, Sejarawan.
#ULASAN
Mengungkap pengalaman traumatik bukan perkara mudah, butuh kemauan dan ketahanan yang kuat untuk bergumul dengan pikiran dan perasaan yang penuh luka. Untuk itu aku sangat berterima kasih kepada Ibu Nani karena sudah menulis buku ini sehingga kami sebagai generasi muda bisa belajar dari pengalaman dan sejarah pribadi yang bersinggungan dengan sejarah nasional.
Penulis adalah anak dari Mayjen TNI Anumerta Sutojo Siswomiharjo, salah satu pahlawan revolusi yang dibunuh pada peristiwa G30S. Sutojo dikenal sebagai perwira yang jujur, sederhana dan sering dipercaya dalam tugas-tugas pemberantasan korupsi. Lulusan terbaik SESKOAD 1960, jabatan terakhirnya inspektur kehakiman dan direktur akademi hukum militer. Sebagai ayah, beliau akrab dengan anak-anaknya dan ‘membiasakan’ Nani dekat dengan buku-buku bacaan. Kelak, kepada buku-buku inilah Nani ‘melarikan diri’ dari kesedihan pasca meninggalnya sang ayah. Dari buku-buku yang ia baca, ia mendapat gambaran bagaimana menjadi perempuan yang kuat dan mandiri.
Buku ini berupaya memberikan pemahaman dan penyelesaian sejarah masa lalu bangsa dengan pendekatan psiko-sosial-historis. Dibagi menjadi dua bagian: Pertama, menggambarkan sisi personal penulis. Kedua, mencerminkan sisi akademiknya sebagai seorang dosen Psikologi Sosial. Sentuhan tangan dari seorang psikolog begitu terasa karena ketika membaca tulisan ini aku seperti mendengar Ibu Nani bercerita langsung disampingku. Penderitaan dan perasaan yang timbul akibat trauma seperti loss of trust, perasaan dikhianati, defensif, alone and lonely masih membekas setelah selesai membaca buku ini. Pengalaman dan pemahaman yang telah diperoleh penulis mendorongnya pada sebuah kebijaksanaan, “Rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri”, “Memaafkan, tapi tidak melupakan”, dan “Tidak ada kebenaran tunggal yang baku dalam sebuah peristiwa sejarah.”
Jika sejarah sering dijadikan pertarungan antara menang dan kalah, dalam buku ini kategorisasi itu terasa tak relevan lagi, karena antara keluarga para pahlawan revolusi dan mereka yang dianiaya Orba karena tuduhan terlibat G30S justru terdorong untuk menyimpulkan bahwa ‘kami’ semua adalah korban. Penulis mengharapkan kita dapat menuju sejarah bersama (shared history) dimana suara dan ingatan para korban tentang penderitaan dapat dipertemukan. Keberanian moral untuk menatap masa lalu dengan jujur dan tanpa rasa takut inilah yang diperlukan Indonesia untuk keluar dari jerat trauma masa lalu. Karena bagaimanapun, tak ada sejarah tanpa tragedi dan memahaminya adalah lebih baik dan sehat daripada mengingkarinya.
“Rekonsiliasi yang dimulai dari diri sendiri, sehingga mampu menceritakan kepahitan masa lampau tanpa menimbulkan kebencian, tetapi tetap mengakui dan menghargai pribadi manusia dengan segala perbedaan.”
- Nani Nurrachman Sutojo -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)