Minggu, 14 Maret 2021

REVIEW BUKU SEMUA UNTUK HINDIA - IKSAKA BANU

 

Cover Buku Semua Untuk Hindia
(Sumber : Gramedia)

Judul Buku : Semua Untuk Hindia

Penulis : Iksaka Banu

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal :  154 halaman

Tahun Terbit : 2014

Kategori : Fiksi, Cerpen, Sejarah

My Rated : 4,2/5


Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku fiksi sejarah yang berjudul ‘Semua untuk Hindia’. Buku ini aku baca di IPUSNAS. Bisa dibilang ini pertama kalinya aku membaca buku yang berlatar era kolonialisme namun menggunakan sudut pandang si penjajah atau orang ‘londo’. Iksaka Banu begitu lihai dan lincah meramu tokoh-tokoh yang bukanlah tokoh utama di kisah nyata, tapi sudut pandangnya mengenai suatu peristiwa sejarah tidak bisa dibuang begitu saja.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen yang merentang dari masa pra-kedatangan Cornelis de Houtman hingga awal Indonesia merdeka. Penulis tidak main-main dalam merangkai cerita, karena ia mendasarkan pada riset para sejarawan. Meski demikian, fiksi tetaplah fiksi, bisa jadi diantara sekian tokohnya adalah ciptaan penulis sendiri.

Dibagian awal, pengantar dari Nirwan Dewanto dengan tagline ‘Hindia Timur Untuk Kita, Hari Ini’ bagiku sangatlah membantu untuk menyingkap peristiwa sejarah apa dibalik kumpulan cerpen Iksaka Banu ini. 


“Penulis kelahiran Yogyakarta, 1964, ini menyadarkan kita bahwa Hindia Timur bukanlah menempel pada kehidupan kita hari ini, tapi merasuk ke dalamnya, mempengaruhi cara kita dalam menerima dunia luas. Tiga belas cerita pendek dalam buku ini menyangkal praduga umum bahwa sejarah kita apak, berdebu-sawang, dan berbau kemenyan.” 

-Nirwan Dewanto


Dari 13 judul cerpen yang disajikan, ada dua yang menjadi favoritku. Pertama, ‘Semua untuk Hindia’ yang mengisahkan tentang seorang wartawan De Locomotief saat meliput peristiwa Perang Puputan di Bali, tersayat hatinya melihat peristiwa yang sangat memilukan ini. Lalu aku coba googling tentang Perang Puputan ini dan memang ‘ngeri’ membayangkannya. Yang kedua, ‘Selamat Tinggal Hindia’ yang mengisahkan seorang wanita asal Belanda bernama Geertje ternyata adalah orang yang dicari-cari oleh tentara NICA karena disinyalir menyebarkan propaganda anti-NICA. Namun, Geertje berhasil kabur dari rumahnya dan meninggalkan pesan yang ia goreskan di cermin riasnya, ‘Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia.’

Bila dalam buku-buku sejarah semasa sekolah dulu, yang aku rasakan ketika menyimak sejarah kolonialisme hanya sebatas pertentangan hitam dan putih. Si penjajah sepenuhnya salah, sebaliknya yang dijajah adalah korban. Buku ini akan menjungkirbalikkan semua itu. Karena dalam buku ini, kita akan dituntut melihat secara objektif pertentangan antara tokoh pribumi dan Belanda. Namun, di momen-momen tertentu, penulis seakan menuntun kita untuk melihat sang tokoh bukan dari latar belakangnya -tidak peduli dia Belanda atau pribumi- tetapi berusaha melihat dari sisi nuraninya. Lantas kita akan menemukan ada lho orang yang meskipun berasal dari Belanda tetapi berempati terhadap pribumi dan menyadari betul akan kekejaman bangsanya. Sebaliknya, ada pula kalangan bangsawan yang merasa berkedudukan lebih tinggi lalu semena-mena terhadap saudaranya sendiri. 


“Kita hidup di zaman menyedihkan. Di masa ketika seseorang dengan kemakmuran atau garis darah tertentu bisa memiliki kedudukan, kehormatan, dan hak lebih tinggi dari yang lain. Orang-orang semacam ini kemudian berkumpul, membentuk lembaga pemerintahan sembari meminjam hukum, kisah-kisah lama, kesepakatan lama, bahkan agama atau hal-hal lain yang bisa mempersatukan orang banyak untuk dibelokkan menuju pencapaian cita-cita mereka, yaitu: mengatur hidup orang lain.”

-Iksaka Banu


Jadi, kalau kamu suka dengan tema fiksi sejarah, buku ini aku rekomendasikan untuk dibaca. Secara bahasa sebenarnya cukup mudah dipahami, hanya saja penulis tidak jarang menggunakan kosakata bahasa Belanda. Cara mengawali ceritanya pun cukup variatif, namun seringkali kita langsung dilemparkan ke tengah-tengah situasi yang menegangkan. Dan sebagai penutup, mungkin kita juga sudah tahu, kalau buku ini mengantarkan Iksaka meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa, pada tahun 2014. Ya untuk buku sebagus ini, menurutku memang layak sih. Mantap ! 


“Ini tanahku. Ini rumahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.” 

-Iksaka Banu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)