Jumat, 12 Maret 2021

REVIEW BUKU SAAT-SAAT TERAKHIR BERSAMA SOEHARTO - EMHA AINUN NADJIB

 

Cover Buku Saat-Saat Terakhr Bersama Soeharto
(Sumber : Issuu)


Judul Buku : Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto

Penulis : Emha Ainun Nadjib

Penerbit : Bentang Pustaka

Tebal :  204 halaman

Tahun Terbit : 2016

Kategori : Non-Fiksi, Sosial-Politik

My Rated : 4/5


Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas salah satu buku karya Cak Nun yang membahas tentang Reformasi. Mei 1998 merupakan tonggak yang sangat penting bagi perubahan nasib bangsa Indonesia terutama yang berhubungan dengan lengser keprabon-nya Presiden Soeharto. Bukan rahasia umum apabila peristiwa politik di negeri ini acap kali dibungkus dengan pencitraan, kepalsuan, kemunafikan dan pemunafikan. Reformasi, sebuah kata yang megah bagi republik ini, tentu saja, namun siapakah yang paling berperan dalam peristiwa jatuhnya Soeharto waktu itu ? Masa Reformasi adalah laboratorium sejarah untuk menyaksikan mana yang egois, mana yang idealis dan mana yang hanya melirik-lirik kesempatan.

Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto merupakan usaha Emha Ainun Nadjib untuk menjawab berbagai pertanyaan dan gugatan kepadanya perihal peristiwa pertemuannya bersama 8 tokoh lainnya dengan Pak Harto, 19 Mei 1998. Buku ini diterbitkan ulang agar generasi sekarang dapat melihat, menyaksikan dan memiliki catatan sejarah mengenai reformasi politik Indonesia pada 1998 dari sudut pandang peran, kiprah, langkah, pikiran, dan pemikiran dari Cak Nun sebagai salah seorang tokoh penting dalam proses Reformasi 1998 tersebut. 


“Sejak dulu masyarakat selalu saya ajak berdoa bagi khusnul khatimah-nya Pak Harto. Di Padhang Bulan pada 11 Mei 1998 pun, di awal pengajian, kalimat pertama saya sebagai berikut, “Pak Harto sekarang sudah tidak punya waktu lagi. Bulan ini juga ia harus mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.”

 “Lantas kami berdoa massal dan saya memohon Ibunda saya memimpin pembacaan Hizib Nashr agar Allah memberi dua pilihan kepada Pak Harto. Pilihan itu: melunak hatinya dan menjauhkan diri dari kekuasaan yang sudah sangat menguasainya, atau hancur seluruh sejarahnya.” 

- Emha Ainun Nadjib


Dalam buku ini Cak Nun memaklumi memang pada saat itu tingkat ketidakpercayaan publik kepada Soeharto dan Lembaga pemerintah sudah klimaks. Jadi, apa pun yang berindikasi Soeharto langsung membuat orang apriori dan curiga. Termasuk ketika diundangnya 9 tokoh (Nurcholis Majid, Gus Dur, Cak Nun, dll) ke istana dituduh sebagai penghianat reformis.

Cak Nun menjawab semua itu dengan bahasa yang khas dan kerendahan hati. Cak Nun mempertaruhkan nama baiknya dengan berkenan hadir waktu itu karena mendapat jaminan bahwa Soeharto bakal mundur, dan ketika di Istana pun ke-9 tokoh juga sepakat bahwa Soeharto harus mundur. Tidak ada konsesi yang dibagi-bagi, undangan itu adalah jawaban dari usulan “4 jalan untuk mundur” yang disampaikan saat konferensi pers Nurcholis Majid dkk di Jogja.

Setelah membaca buku ini, Cak Nun ingin meluruskan bahwa turunnya Soeharto adalah akumulasi dari ketidakpercayaan banyak lapisan masyarakat kepada Soeharto, gerakan masif para mahasiswa yang memberi people pressure (power pressure, political pressure dan moral pressure) dan peran para intelektual untuk urun rembug menyuarakan jalan terbaik bagi Soeharto untuk mundur dengan seminimal mungkin kerugian bagi masyarakat Indonesia. Pada poin ketiga itulah Cak Nun berperan, meskipun dalam buku ini secara tegas tidak mau menganggap dirinya seorang reformis. Semua yang dilakukannya seperti melontarkan berbagai kritik jauh-jauh sebelum 1998, baik lisan maupun tulisan, bahkan banyak tulisannya gagal dimuat media karena dianggap terlalu frontal, berkeliling ke daerah-daerah dalam padhang bulan-an mengajak jamaah berdoa untuk husnul khatimahnya Soeharto hanyalah usahanya untuk menjadi manusia yang bermanfaat.


“Ketika proses membongkar, saya urun tenaga sedikit-sedikit, meskipun risikonya difitnah. Ketika pembongkaran tahap pertama selesai, ternyata setiap pembongkar membawa kepentingan dan ambisinya sendiri-sendiri atau kelompoknya. Berebut peluang untuk berkuasa, atau berbagi kekuasaan dalam suatu koalisi-koalisi pragmatis.”

- Emha Ainun Nadjib


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)