Jumat, 12 Maret 2021

REVIEW BUKU MATI KETAWA ALA REFOTNASI - EMHA AINUN NADJIB

 

Cover Buku Mati Ketawa Ala Refotnasi
(Sumber : Mizan)

Judul Buku : Mati Ketawa Ala Refotnasi  

Penulis : Emha Ainun Nadjib   

Penerbit : Bentang Pustaka

Tebal :  200 halaman

Tahun Terbit : 2016

Kategori : Non-Fiksi, Sosial-Budaya

My Rated : 3,8/5


Hallo, Sobat Reader ! Mati Ketawa Ala Refotnasi adalah kumpulan essai dari EMHA Ainun Nadjib atau akrab di panggil Mbah Nun atau Cak Nun. Esai-esai ini pernah diterbitkan di berbagai koran pada 1998, saat masa-masa keruntuhan OrBa bergelora di Indonesia. Selain itu, Mbah Nun juga menulis beberapa esai berdasarkan pengalaman beliau ‘shalawatan’ ke berbagai daerah di Indonesia, bertemu rakyat bawah.

Mbah Nun melihat situasi psiko-politik Indonesia saat itu relatif terkontaminasi oleh bias-bias, fanatisme terhadap prasangka-prasangka “populer” tentang banyak hal, oleh semacam “kebandelan” dalam subjektivisme kita masing-masing. Namun, beliau memilih ‘menikmati’ keasyikan di posisi pinggiran, bergeser jauh dari keributan orang-orang dan golongan yang bertengkar di televisi dan media cetak. 


“Begitulah keadaan kita. Itulah yang namanya krisis akhlak, krisis budaya. Jadi, krisis ekonomi sesungguhnya hanya merupakan produk krisis-krisis yang lain, yang sudah berlangsung lama, yaitu krisis budaya, krisis nilai, dan lainnya. Krisis politik, krisis ekonomi, hanya produk.” 

-Emha Ainun Nadjib   


Buku ini dibagi ke dalam lima bab, yaitu Gerhana Bulan, Masyarakat Tindhihen, Reformasi Hijrah, Shalawat Nabi, dan ditutup dengan Istighasah.  Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang ditulis dengan gaya filosofis, sederhana, mendalam, bermakna, dan ‘nyeleneh’ tapi logis. Itulah ciri khas dari pemikiran Mbah Nun, beberapa orang mungkin menganggapnya ‘ndableg’ bahkan sampai dinilai radikal. Semua stigma-stigma miring yang disematkan kepada beliau dijawab dengan lugas dan bernas dalam buku ini. 

Secara keseluruhan buku ini mengajak pembacanya untuk meraba ruang-ruang yang mungkin ‘terlewat’ disorot kamera publik saat krisis 1998, mundurnya Soeharto dan dimulainya era Reformasi. Beliau juga mengingatkan tentang jalan keluar yang sebenarnya Indonesia mampu melakukannya. Dalam beberapa tulisannya, Mbah Nun menganalogikannya dengan pertandingan sepakbola Piala Dunia di tahun itu. 

Di dalam politik bahkan tidak pernah jelas betul GAWANGNYA TERLETAK DI MANA. Di dalam politik, tidak benar-benar ketahuan apakah bola sudah gol atau belum. Tidak jelas SIAPA SEBENARNYA YANG BIKIN GOL. Itulah politik. Karena yang inti dalam politik bukan apa yang tampak di lapangan, melainkan apa yang terjadi di luar lapangan atau di bawah lapangan. Sementara itu, kamera hanya menyorot yang di dalam lapangan.


“Pemerintah butuh rakyat untuk menjadi pemerintah, sementara rakyat tetap bisa hidup tanpa pemerintah.”

-Emha Ainun Nadjib   


Dalam buku ini, Mbah Nun juga mempertegas prinsipnya untuk tidak ‘ikut campur’ ke dalam politik praktis. Beliau tidak gila jabatan, tidak berniat mendirikan partai, tidak mau disetir oleh kelompok apalagi perorangan. Beliau lebih nyaman ‘kumpul’ dengan rakyat, bershalawat, membangun kembali ukhuwah umat, persatuan antarmanusia dan kesatuan sesama warga negara Indonesia. Menumbuhkan kesadaran politik, kesadaran sebagai rakyat, sebagai subjek utama kehidupan bernegara, sebagai “bos” dengan presiden dan aparat-aparatnya sebagai pembantu rumah tangga kita, karena kita yang mengupah mereka. Karena rakyat kecil adalah “juragan”, posisinya lebih tinggi dibanding presiden. 


“Pakaian nasional kita sudah robek-robek oleh tradisi KKN, kebohongan politik, dan permalingan ekonomi. Karena pakaian robek, aurat kelihatan di sana sini sehingga kita malu dan tak punya harga diri di mata dunia.”

- Emha Ainun Nadjib   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)