Kamis, 18 Maret 2021

REVIEW BUKU MAX HAVELAAR - MULTATULI

 


Judul Buku : Max Havelaar

Penulis : Multatuli (Eduard Douwes Dekker)

Penerbit : Qanita

Tebal :  480 halaman

Tahun Terbit : 2014

Kategori : Fiksi, Sejarah

My Rated : 4,3 / 5


Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang disebut-sebut berperan penting pada awal kehancuran kolonialisme di Hindia Belanda. Ya, mungkin kita tidak asing dengan nama Eduard Douwes Dekker. Aku masih ingat waktu pelajaran sejarah di sekolah, cerita tentang Douwes Dekker ini cukup menarik karena ia adalah orang Belanda yang menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak, Banten, tetapi ia menulis buku yang justru mengungkap kebobrokan kolonialisme Belanda di tanah jajahannya. Dan kini terjemahan buku fenomenal itu ada di tanganku, tentunya aku senang sekali membacanya.


“Kisah yang membunuh kolonialisme.”

-Pramoedya Ananta Toer


Buku dengan judul Max Havelaar ini ditulis setelah selama 18 tahun ia mengabdi sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Terbit pertama kali pada tahun 1868 dengan nama pena Multatuli yang artinya 'aku menderita'. Dikemas dalam bentuk novel, tetapi penulis megakui bahwa isinya adalah fakta. Fakta tentang kekejaman pemerintah kolonial yang sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan; menerapkan sistem tanam paksa yang membuat pribumi menderita, miskin, kelaparan, sakit-sakitan, ada yang tidak diberi upah, ada pula yang diberi upah tapi disunat oleh pejabatnya; merampas harta para pribumi; serta berbagai ketidakadilan, penindasan dan kebobrokan lainnya. Sementara para pejabat pribumi, seperti Bupati, bukannya membela rakyat yang jelas-jelas tertindas, justru memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, bermental penjilat terhadap kekuasaan, menulis laporan kepada pemerintah yang dibuat-buat seolah semuanya damai dan aman-aman saja.

Kisah Max Havelaar dibuka dengan karakter seorang makelar kopi yang sukses di kota Amsterdam, yang bernama B. Droogstoppel. Suatu hari Droogstoppel  berjumpa dengan Mr. Sjaalman yang ternyata adalah sahabat kecilnya, tapi ia menghindarinya karena Sjaalman terlihat miskin sehingga dianggap tidak baik untuk kelangsungan bisnisnya. Namun, beberapa hari kemudian Mr. Sjaalman membawa tumpukan manuskrip ke rumah Droogstoppel untuk meminta diterbitkan menjadi buku. Droogstoppel awalnya tertarik karena banyak catatan tentang informasi perdagangan kopi di Hinida Belanda. Lalu Droogstoppel meminta bantuan kerabatnya untuk menyusun manuskrip itu mejadi buku dan ditemukanlah diantara tumpukan manuskrip itu, kisah-kisah kelam yang terjadi di Hindia nan jauh disana. 

Pembaca kemudian dibawa ke dalam kisah kehidupan Max Havelaar yang dipindahtugaskan dari daerah Natal, Sumatera ke daerah Lebak, Banten. Ia ditugaskan sebagai asisten residen, kemudian dalam sumpah jabatanya, ia bersumpah akan menegakkan keadilan. Semenjak itu ia dihadapkan pada dilema antara hati nuraninya dan prinsp pemerintah. Idealisme kemanusiaannya menjerit ketika melihat kemiskinan dan kelaparan para pribumi, tidak jarang ia menolong mereka padahal Havelaar pun hidupnya miskin. Bukan tanpa usaha, berkali-kali ia mencoba protes kepada residen ataupun bupati, hingga pada puncaknya ia memberanikan diri menyurati Residen Banten untuk menindaklanjuti Bupati Lebak dan menantunya karena diduga terlibat dalam pemerasan dan kesewenang-wenangan terhadap tenaga kerja rakyatnya. 


“Saya terjepit antara hati nurani dan prinsip pemerintah yang harus saya patuhi selama saya belum bebas dari jabatan saya.”

-Multatuli


Kisah Max Havelaar ini kemudian ditutup dengan surat pengunduran dirinya kepada Gubernur Jenderal karena tidak tahan lagi dengan ketidakadilan yang terjadi kepada pribumi dan kepada dirinya sendiri. Ia memilih mundur satu langkah untuk kemudian melompat tinggi dengan tulisannya. 


“Saya, yang malang dan tidak berdaya ini berdiri sendirian bersama keinginan saya untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan.”

-Multatuli


Bila kita tengok ke belakang, apa yang dicita-citakan Multatuli agar buku ini membuat ‘melek’ para petinggi di negeri Belanda nampaknya berhasil. Karena setelah buku ini terbit, mulai tumbuh kesadaran di kalangan politisi Belanda tentang kelakuan para pejabat mereka di Hindia yang tidak bisa disangkal lagi. Beberapa tahun kemudian, Belanda menerapkan kebijakan ‘politik etis’ yang dianggapnya sebagai balas budi atau usaha ‘membayar utang’ mereka kepada pribumi. Tetapi, kebijakan ini menjadi boomerang bagi mereka sebab salah satu program dalam politik etis yaitu pendidikan bagi elite pribumi melahirkan generasi yang mulai tersadar untuk merdeka dari penjajahan Belanda.

Max Havelaar memang ditulis berdasarkan pengalaman Douwes Dekker di Indonesia. Dalam buku ini ia menempatkan dirinya sebagai Mr. Sjaalman yang hidup sangat miskin ketika kembali ke Belanda, ia menulis buku dan mencari pihak-pihak yang bersedia menerbitkan bukunya, dari sinilah ia kemudian menulis buku Max Havelaar. Aku mengapresiasi sekali kerja keras pihak penerbit dalam menerjemahkan buku ini, memang tidaklah sempurna karena gaya bahasanya cukup berat dan memusingkan di beberapa bagian, terutama di awal-awal buku. Tetapi menurutku, pesan tentang humanisme, kesetaraan, keadilan dan kejujuran yang akan didapat oleh pembaca akan membekas dalam jiwa patriotismenya.


“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya.”

-John F. Kennedy


Sangat aku rekomendasikan untuk dibaca, tentunya untuk mengenal lebih dekat sosok Eduard Douwes Dekker -pahlawan dari kubu lawan- melalui karyanya. Selain itu, kita juga bisa melihat kenyataan bahwa ketertindasan pribumi di tanahnya sendiri tidak hanya disebabkan oleh kolonialisme Belanda, tetapi juga mental korup dan konservatif dari para pejabat pribumi itu sendiri. Sebaliknya, keinginan untuk terlepas dari ketertindasan tidak hanya datang dari pribumi, tapi juga dari empati orang-orang di pihak lawannya. 


“Aku akan dibaca! Ya, aku akan dibaca ! Aku akan dibaca oleh para Negarawan yang wajib memperhatikan tanda-tanda zaman, oleh para sastrawan yang juga harus mengintip buku yang menyatakan begitu banyak keburukan ini…”

-Multatuli


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)