Minggu, 21 Februari 2021

REVIEW BUKU BUMI MANUSIA - PRAMOEDYA ANANTA TOER

 


Judul Buku : Bumi Manusia

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Tebal :  551 halaman

Tahun Terbit : 2005

Kategori : Fiksi, Roman-Sejarah

My Rated : 5/5


Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang nampaknya akan menjadi salah satu buku terbaik yang pernah aku baca. Selesai membaca buku ini di bulan Februari 2021. Wah, kemana saja aku baru baca buku ini ? wkwk. Menyesal ? sedikit. Sudah lama sebenarnya mendengar buku ini adalah masterpiece dari Pram, salah satu karya sastra terbaik Indonesia, dan bahkan sudah ada filmnya.


“Cerita..selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput” 
-Pramoedya Ananta Toer


Bumi Manusia. Sebuah kisah manusia dengan segala dinamikanya. Novel yang mengambil latar belakang pergerakan nasional awal abad ke-20 ini berkisah tentang Minke, seorang keturunan priyai Jawa, sebagai tokoh utama. Pram menggambarkan karakter Minke sebagai pribumi terpelajar, mendapat pendidikan ala Eropa di HBS (Hogere Burger School), yatu sekolah setara SMA yang tidak semua pribumi bisa sekolah disitu. Hidup ditengah-tengah pergaulan Eropa membuat pandangan Minke menjadi pengagung Eropa. Pergolakan batin Minke terjadi karena ayahnya geram dengan dirinya yang hilang Jawa-nya, sedangkan Bunda Minke berpesan agar tahu batas dan berani bertanggungjawab. Dari sini Minke mengalami proses pencarian jati dirinya, seorang pribumi tapi pengagung Eropa.

Berawal dari ajakan temannya, Robert Surhof, mereka berkunjung ke Boerderij Buitenzorg (Perusahaan Pertanian) di Wonokromo, Surabaya. Disana ia bertemu pemimpin perusahaan, Nyai Ontosoroh dan putrinya, Annelies Mellema yang berparas elok. Cinta pada pandangan pertama antara Minke dan Annelies digambarkan sedemikian romantis oleh Pram. Mulai sejak itu, Minke resmi masuk kedalam pusaran kehidupan Nyai Ontosoroh. Kisah cinta romantis ini berujung pada pertentangan pribumi melawan Eropa, antara tradisi dengan modernism, antara hak dan kewajiban, hingga dihadapkan pada permasalahan pendidikan, hukum, pengadilan, dan banyak lagi sehingga mematahkan pengagungannya terhadap ke-Eropa-an.


“Dalam kehidupan ilmu, tidak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memeprkuat kebenaran..”
 -Pramoedya Ananta Toer


Penggunaan diksi dari Pram dalam novel ini dapat dikatakan tidak hanya berorientasi pada keindahan tetapi justru lebih untuk menyampaikan pikiran dan pandangannnya tentang kolonialisme, ketidakadilan, emansipasi, diskriminasi sosial dan lain sebagainya.

Pembentukan karakter dari tokoh utama, Minke, terasa sangat emosional. Masalah-masalah yang dihadapi tokoh Minke seperti status sosialnya sebagai Pribumi yang dianggap rendah oleh bangsa Eropa dan usahanya mempertahankan kekasihnya, Annelies, membentuk kepribadian tokoh Minke sebagai pribadi yang lebih dewasa, mandiri, memandang sesuatu secara objektif, berwawasan terbuka, dan tidak mudah menyerah. Yang menjadi pertanyaan, penghakiman seseorang hanya karena darah masih saja ada di negeri ini, padahal katanya manusia semakin berpendidikan, semakin terpelajar, semakin berbudi, tapi nyatanya ? 

Penokohan perempuan dalam novel Bumi Manusia sangat menarik. Pramoedya Ananta Toer menampilkan karakter perempuan yang luar biasa. 

Sosok Nyai Ontosoroh (Sanikem) merupakan gambaran perempuan awal abad 20 yang berpikiran modern karena memperoleh didikkan dari 'lelakinya' yang berkebangsaan Belanda. Nyai Ontosoroh bertransformasi dari sekadar Gundik menjadi perempuan mandiri, mampu mengelola perusahaan, menjadi pemimpin dari ratusan orang, berani mengemukakan pendapat dan berani melawan ketidakadilan yang menimpanya. Seorang pribumi, gundik yang menguasai bahasa Belanda, berwawasan luas, terpandang, dan berkarakter.

Tokoh Annelis Mellema, anak Nyai Ontosoroh, berdarah Indo-Belanda merupakan simbol perempuan cantik luar biasa, namun lemah dan teraniaya. Bila dilihat dari sisi lain, Annelis merupakan figur perempuan yang perhatian, cermat, teliti, dan supel. Dalam hal berkomunikasi, ia tampil sopan dan menghormati.

Tokoh Bunda Minke, merupakan gambaran perempuan Jawa yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan norma budaya. Bunda juga sosok karakter ibu yang bijaksana, penuh pengertian terhadap putranya dan mampu memposisikan dirinya sebagai ibu maupun sebagai istri.

Tokoh Julia Magda Peters yang merupakan guru sastra Belanda-nya Minke, merupakan gambaran perempuan Belanda yang tidak hanya pandai, tetapi juga punya empati terhadap pribumi, ia mengapresiasi tulisan-tulisan Minke dan berusaha membela Minke, hingga berakibat ia harus dipulangkan ke Belanda.

Selain itu, buku ini juga sarat akan nilai-nilai pendidikan karakter, baik itu hubungan dengan Tuhan maupun hubungan dengan sesama manusia. Nilai karakter hubungan dengan Tuhan tercermin dalam doa dan perenungan dari tokoh-tokohnya, kemudian adanya pemahaman syariat islam tentang syarat sah pernikahan. Nilai karakter hubungan dengan manusia yang terbagi menjadi tiga:

  • Hubungan Manusia sebagai individu : Jujur dalam berkata ; Bertanggung jawab terhadap sikap, tindakan, dan pilihan hidup ; Percaya dengan kemampuan diri sendiri ; Kritis terhadap pendapat umum yang keliru dan melawan ketidakadilan ; Semangat belajar ditandai dengan kebiasaan membaca buku, kecintaan terhadap sastra dan berdiskusi ; Bekerja keras untuk mencapai apa yang diinginkan.
  • Hubungan Manusia sebagai makhluk sosial : Tahu akan hak dan kewajiban terhadap diri sendiri dan orang lain ; Menghargai karya, usaha dan prestasi orang lain ; Terbuka terhadap pendapat orang lain dan berani mengemukakan pendapat.
  • Hubungan Manusia dengan karakter kebangsaan: Patriotisme, melawan kolonialisme dan semangat pantang menyerah hingga darah penghabisan.

Buku yang luar biasa, uniknya, Pram begitu lihai menjungkir-balikkan suasana ketika pembaca sedang asyik-asyiknya menikmati suatu momen, memang tidak terduga. Sumbangan Pram untuk Dunia, tidak heran jika mendapat banyak penghargaan dan juga telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Bagiku, ini adalah salah satu buku yang menjadi buku terbaik sepanjang masa. Jadi penasaran untuk membaca kelanjutannya, hehe. 

Pertanyaannya, mengapa buku ini pernah dilarang beredar ? Benarkah buku ini membahayakan bangsa dan negara ? Yang aku jumpai di buku ini justru manusia dan kemanusiaan dengan banyaknya nilai-nilai pendidikan yang bisa dipetik. Apalagi kalau dihubungkan dengan negara demokrasi, bukankah suatu paradoks bila tanpa malu membatasi kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi ? Bila tetap tidak setuju dengan isi buku ini, bukankah lebih bijak dan beradab apabila menandinginya dengan menulis buku pula ? 

Seperti pidato yang pernah disampaikan oleh Buya Hamka, “Kalau tidak menyukai sebuah buku, janganlah buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula.”

Dari kisah di buku ini, membuat kita merenung bahwa warisan buruk masa lampau, seperti diskriminasi rasial, ketidakadilan hukum dan penindasan nyatanya masih sering kita jumpai sampai detik ini. Bahkan lebih memilukan karena terjadi antara sesama anak bangsa, anak negeri sendiri.


“Jangan pikirkan kekalahan, pikirkan dulu perlawanan yang sebaik mungkin, sehormat mungkin.”
-Pramoedya Ananta Toer


Bumi Manusia mengungkapkan cerminan kehidupan masyarakat awal abad ke-20 yang dominan tentang diskriminasi serta penindasan dan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, juga terlihat jelas bagaimana orang Eropa merasa derajatnya paling tinggi sehingga apapun yang mereka ungkapkan harus dipercaya. Sebuah upaya perlawanan dari pribumi, Nyai Ontosoroh dan Minke, hendaknya tidak hanya dilihat dari sisi menang atau kalah, tetapi lebih ditekankan pada proses panjang yang dilalui dengan segala daya dan upaya semaksimal mungkin, walau harus menerima kenyataan, hasil yang didapat terkadang tidak sesuai dengan keinginan.


“Kita kalah, Ma!”

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

-Pramoedya Ananta Toer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)