Judul Buku : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 288 halaman
Tahun Terbit : 2010
Kategori : Fiksi, Novel
My Rated : 4,5 / 5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku pertama karya Okky Madasari yang pernah aku baca di IPUSNAS. Buku ini berjudul Entrok.
#DESKRIPSI
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?
Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri. Adakah yang salah jika mereka berbeda?
Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.
Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.
Kisah yang menyentuh mengenai perjuangan wanita pada zaman-zaman menentukan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Buku ini sangat penting dibaca untuk memahami orientasi nilai dalam masyarakat di tengah-tengah perubahan.
-Leon Agusta, sastrawan
Novel ini dengan jujur menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat kita masih belum bisa menerima adanya perbedaan.
-Hendardi, aktivis demokrasi dan hak asasi manusia
Penulis dengan cemerlang berhasil mengungkapkan lika-liku dan sepak terjang kehidupan masyarakat yang kompleks di tengah kesewenang-wenangan, melalui tuturan silih berganti antara ibu dan anak perempuannya.
-Endy M. Bayuni, pemimpin Redaksi The Jakarta Post
#ULASAN
Wow sebuah novel yang berani ! Awalnya aku tertarik baca buku ini karena penasaran sama ceritanya bagaimana sih ? Kok sampul depannya gambar perempuan memegang entrok atau bra. Setelah membaca di bagian awal, semua masih ‘related’ dengan judulnya. Tapi, ketika sampai dibagian tengah, semakin aku terpacu untuk membacanya sampai habis, loh loh ternyata tema ceritanya bukan sekadar entrok. Lebih kompleks dari itu,
Okky Madasari mengajak pembaca kembali ke masa awal kemerdekaan Indonesia, dimana kehidupan masih serba sederhana, kepercayaan dan adat istiadat masih mengakar kuat di masyarakat. Pada era seperti itulah Sumarni hidup. Gadis desa yang ingin sekali memiliki entrok tetapi tidak dapat terpenuhi karena orang tuanya miskin. Dalam hidup serba kekurangan itu, Sumarni akhirnya bertekad entah apapun caranya ia harus bisa membeli entrok !
Cerita pun mengalir, antara ibu dan anak yang silih berganti menjadi narator. Sumarni punya anak, namanya Rahayu. Perbedaan diantara keduanya berujung pada pertentangan kepercayaan. Sumarni pemuja leluhur, Rahayu penganut agama Tuhan yang taat. Intensitas novel ini semakin membuncah ketika masuk ke cerita perampasan tanah. Visual yang terbangun dari gaya bercerita penulis sangatlah miris. Pertentangan antara kawula dan penguasa, keyakinan masyarakat akan tanah leluhurnya berhadapan dengan penggusuran dengan dalih ‘pembangunan.’
Seperti yang aku katakan di awal, novel iki sangat kompleks. Bukan sekadar perjuangan seorang gadis memiliki entrok, tetapi juga tentang kesadaran Sumarni tentang ketidakadilan gender, orientasi nilai masyarakat tentang perbedaan (keyakinan, ideologi dan status sosial), kekerasan dan kesewenang-wenangan. Novel ini membuat emosiku naik turun dan ketika hendak bersimpati dengan tokoh A, eh tiba-tiba cerita berbalik sehingga kutarik kembali simpatiku. Terlepas dari semua itu, inti dari novel ini adalah pentingnya toleransi. Manusia punya hak untuk memilih keyakinan dan ideologinya, tetapi bukan berarti tidak ada titik singgung diantara mereka. Diantara perbedaan, pasti ada persamaan, itulah yang mesti dikedepankan sehingga terciptalah kehidupan yang damai dan harmonis.
“Apalah artinya semua perjuangan terhadap penindasan dan ketidakadilan, kalau kebiadaban di depan kita sendiri saja tak mampu kita atasi.”
- Okky Madasari -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)