Senin, 01 Maret 2021

REVIEW BUKU GESTAPU 65 : PKI, AIDIT, SUKARNO DAN SOEHARTO - SALIM HAJI SAID

Cover Buku Gestapu 65 : PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto
(Sumber : Goodreads)


Judul Buku : Gestapu 65 : PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto
Penulis : Salim Haji Said
Penerbit : Mizan
Tebal :  204 halaman
Tahun Terbit : 2018
Kategori : Non-Fiksi, Sejarah
My Rated : 4,5/5


Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas salah satu buku yang membahas sejarah Gestapu 1965 karya Prof. Salim Haji Said. Gestapu 65 : PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto, berisi analisa memahami peristiwa 1965 dengan lebih terperinci di dalam satu buku saja. Fakta sejarah 1965 memang masih banyak menyisakan pertanyaan dan misteri hingga sekarang. Di dalam buku ini Salim Haji Said memosisikan dirinya sebagai seorang wartawan atau reporter yang meliput hampir setiap kejadian detail dari sebelum, ketika dan setelah kejadian Gestapu.

Secara garis besar, dalam buku ini menurut Prof. SHS ada 4 kelompok dengan kepentingan masing-masing terhadap keberlangsungan kekuasaan dan kelanjutan politik di Indonesia pada waktu itu, yakni :

  1. Sukarno. Presiden pertama Indonesia tersebut dapat berkuasa dan bertahan kekeuh dengan ideologi yang dipopulerkannya sebagai Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Baginya, PKI bukan hanya salah satu dari pilar Nasakom, tapi juga kekuatan politik yang dimanfaatkan untuk mengimbangi Angkatan Darat, tanpa kekuatan dibelakangnya, Sukarno sadar akan mudah menjadi ‘sandera’ para Jenderal.
  2. PKI. Pada puncak masa perang dingin, PKI memang terus menerus khawatir terhadap kekuatan AD, terutama ketika muncul berita sakitnya Sukarno. Tanpa Sukarno, PKI harus berhadapan dengan AD tanpa “beking” siapapun. DN Aidit pemimpin tertinggi PKI bertekad merebut kekuasaan lewat jalan parlementer, dengan mempersiapkan partai meraih kemenangan lewat pemilu pada 1970.
  3. Angkatan Darat. AD menjadi garda terdepan kekuatan anti-Komunis setelah PSI dan Masyumi dibubarkan oleh Sukarno. Sebagai langkahnya, AD membentuk organisasi Islam seperti Padi (Pengajian Dakwah Islam), lalu membangun PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), keduanya digunakan sebagai lembaga dakwah Islam untuk menghadapi kampanye-kampanye ideologis PKI.
  4. Pihak asing dengan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini ada Amerika yang cemas jika Indonesia akan menjadi negara komunis, hal ini jelas mempersulit usaha mereka dalam membendung perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Inggris yang terus menghabiskan dana untuk melindungi Malaysia yang terus diganyang oleh Sukarno, ingin segera mengakhiri ketegangan politik ini. Sementara ada dinas rahasia Uni Soviet dan Tiongkok, hubungan Beijing dan Moskow saat itu sudah tegang, ditambah PKI yang memihak Beijing diterjemahkan oleh dinas rahasia Tingkok dan dinas rahasia Uni Soviet sebagai konflik segi tiga TNI, Sukarno dan PKI.

Sedangkan terkait dengan kelompok Angkatan Darat, paling sedikit terdapat empat sub-kelompok dengan sikap berbeda saat sebelum Gestapu yaitu sub-kelompok Nasution, Ahmad Yani, Soeharto dan sub-kelompok perwira binaan Biro Khusus PKI. Ketiga kelompok pertama merupakan anti-Komunis. Kelompok Nasution mengambil tindakan lebih keras terhadap Sukarno, sementara pihak Yani mencoba merangkul Sukarno agar tidak terlalu dekat dengan PKI. Sementara Soeharto berada di pihak yang merasa diremehkan oleh kelompok Yani yang berkuasa. 

Singkatnya, kesimpulan yang dapat Prof. SHS jelaskan di buku ini adalah bahwa sebenarnya yang direncanakan bukan pembantaian seperti yang kemudian terjadi, melainkan penculikan untuk pendaulatan. Ia yakin DN Aidit juga mengerti bahwa Gestapu hanyalah pendaulatan atas pimpinan Angkatan Darat. Sukarno hanya berkeinginan untuk mengganti pimpinan Angkatan Darat pasca Yani dengan Jenderal yang tunduk kepada ‘Pemimpin Besar Revolusi’ sehingga mudah dikendalikan, dengan cara tersebut diharapkan Angkatan Darat akan mendukung NASAKOM dan lebih bersahabat dengan PKI. Namun, yang terjadi justru pembunuhan, itulah yang menjadi pertanyaan besar hingga saat ini, siapakah aktor intelektualnya ???

Perlu diperhatikan pula saat itu adalah masa panasnya konfrontasi dengan Malaysia dan makin meningkatnya ketegangan politik domestik (PKI vs AD), tampaknya para Jenderal tidak pernah memperhitungkan kemungkinan operasi pasukan komando melumpuhkan mereka. Dan itulah yang terjadi pada 1 Oktober pagi hari tersebut. Cuma bukan pasukan komando asing yang menyapu hampir tuntas pimpinan AD, melainkan anak buah mereka sendiri yang digerakkan oleh golongan Komunis, musuh bebuyutan AD.

Biro Khusus PKI cukup sukses dalam membina tentara. Kebanyakan adalah perwira yang mengurusi intelijen, teritorial, dan personalia. Tiga pos sensitif dalam organisasi militer. Biro Khusus PKI berhasil membina sejumlah perwira di beberapa wilayah Indonesia. Temuan Crouch, yang sudah berhasil dibina, 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, hampir 100 di Jawa Barat, sekitar 50 di Jakarta, hampir 40 di sumatra utara, 30 di sumatera Barat, dan 30 di Bali. 

Prof. SHS juga tak menyoroti TNI AU, karena apabila berbicara mengenai Angkatan Bersenjata sehubungan dengan GESTAPU, faktor Angkatan Udara terlalu penting untuk dilupakan. Omar Dani, PangAU saat itu masih sangat muda ketika menduduki jabatan itu, Dani adalah anak muda yang tidak punya pengalaman tempur masa revolusi. Dani mewarisi AU yang sejak awal 50-an sudah diposisikan bersikap ‘Antagonistis’ kepada AD.

Persoalan terpenting yang melatarbelakangi konflik antara Angkatan Udara dan Angkatan Darat, terutama pada masa demokrasi terpimpin, pada dasarnya adalah sikap kedua Angkatan yang berbeda terhadap kebijakan Presiden Sukarno. AD menolak NASAKOM, sangat waspada kepada PKI, sementara AU mendukung NASAKOM dan hampir semua kebijakan politik Sukarno, termasuk gagasan pembentukan Angkatan V. Berbeda dengan pihak AD, Pimpinan AU waktu itu tidak melihat PKI sebagai potensi ancaman.

Yang cukup ironis ialah nasib Jenderal A.H. Nasution. Pemimpin AD ini—orang yang berjasa mendukung Sukarno memperoleh kekuasaan besar —adalah target utama dan pertama dalam tentara untuk disingkirkan Sukarno. Nasution yang anti-Kom adalah penghalang utama agenda politik NASAKOM Sukarno. Berhasil menyingkirkan Nasution pada 1962, giliran berikutnya ialah Jenderal Ahmad Yani, orang yang secara pribadi dipilih Sukarno menggantikan Nasution. Pimpinan AD boleh berganti, tapi posisi anti-Kom mereka tidak berubah. Di mata Sukarno, Yani yang ternyata anti-NASAKOM, juga harus disingkirkan. Dalam proses penyingkiran Yani itulah terjadinya GESTAPU pada pagi hari 1 Oktober 1965.

Nasution tersingkir, Yani terbunuh, tampillah Soeharto. Ketua baru “Partai tentara” ini sangat diuntungkan oleh kegagalan GESTAPU yang menyebabkan hancurnya PKI. Tanpa dukungan PKI, posisi politik Sukarno secara berangsur melemah. Dengan kecanggihan politiknya, dalam dua tahun sejak GESTAPU pertarungan politik akhirnya dimenangkan Soeharto. Artinya, Sukarno tersingkir.

LALU SIAPA yang berada di balik GESTAPU ??? PKI sendiri, kata pemerintahan orde Baru. Akibat pertentangan internal Angkatan Darat, kata PKI dan para ahli Indonesia di Cornell university. CIA, kata Peter dale scott. Soeharto, kata Wertheim. PKI, tentara dan nekolim, kata Presiden Sukarno. 

Buku yang menarik dibaca untuk memahami salah satu peristiwa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia ini.. Sekaliber Prof. SHS yang notabene dikenal juga sebagai Guru Besar di Universitas Pertahanan ini tidak serta merta membuat kesimpulan siapakah aktor pasti dalam pembunuhan 7 perwira tinggi militer Indonesia. Apalagi aku yang baru membaca beberapa referensi tentang sejarah Gestapu ini, namun adanya banyak versi ini justru menurutku membuat kita sebagai generasi muda hendaknya mau terbuka terhadap referensi-referensi alternatif yang akan membantu menyibak kabut gelap menuju sinar yang lebih terang. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)