Judul Buku : Luka Bangsa Luka Kita
Penulis : Dr. Baskara T. Wardaya, SJ.
Penerbit : Galang
Tebal : 392 halaman
Tahun Terbit : 2014
Kategori : Non-Fiksi, Politik
My Rated : 4,5/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang mengulas laporan KOMNAS HAM dan beberapa tulisan mengenai peristiwa 1965-1966. Buku ini berjudul Luka Bangsa Luka Kita karya Dr. Baskara T. Wardaya, SJ.
#DESKRIPSI
“Buku ini ingin mengingatkan kembali masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM ...untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadiakan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan sekarang dan di masa depan”
-- DR. Baskara T. Wardaya, SJ
Banyak negara di dunia memiliki jejak buruk, terkait kekerasan kolektif dan pelangaran HAM pada masa lalu. Sebut saja, Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Argentina. Begitu pula Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang berani mengakui, mengolah, dan menuntaskan kejahatan terhadap kemanusiaan, Indonesia sepertinya masih berjalan di tempat. Jangankan sampai pada penuntasan, pada fase pengungkapan pun aktivis HAM sering kali menghadapi jalan buntu. Sebagai bukti, ketika Komnas HAM menyampaikan hasil penyelidikan dan kerja kerasnya selama empat tahun kepada pemerintah, laporan tersebut langsung ditolak dan tidak pernah ditindaklanjuti. Upaya penuntasan masalah pelanggaran HAM pun akhirnya mengambang.
Buku ini hendak menajak masyarakat mengupayakan penuntasan masalah pelanggaran HAM di Indonesia bisa terrealisasi. Buku ini menyajika Laporan Eksekutif Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966, dan disertai laporan pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru. Selain itu, ditampilkan pula tulisan-tulisan mengenai konteks terjadinya pembunuhan massal tahun 1965-1966, kekerasan terhadap para tapol di Pulau Buru, dan gagasan mengenai bagaimana seharusnya penanganan dan jalan keluar masalah pelanggaran HAM.
Buku ini sangat penting bagi para pejuang kemanusiaan dan semua elemen masyarakat yang peduli terhadap tegaknya keadilan di negeri ini. Secara khusus, buku ini penting bagi generasi muda Indonesia yang ingin mengenal lebih dalam sejarah bangsa dari sudut pandang yang lebih luas.
#ULASAN
“Untuk para pejuang kemanusiaan di segenap penjuru tanah air.”
Kilas balik, pada tahun 2012, KOMNAS HAM mengumumkan hasil penyelidikan tentang pelanggaran HAM yang berat terkait pembunuhan massal tahun 1965-1966. Hasil kerja selama 4 tahun itu mendapat respon mengecewakan dari Kejaksaan Agung. Laporan dikembalikan dengan alas an klise, “belum lengkap”. Dan akhirnya, laporan itu berhenti sekadar laporan, tanpa tindak lanjut dari dua rekomendasi yang disampaikan diakhir laporan itu.
Nah, buku ini dimaksudkan untuk menghargai dan menunjukkan bahwa kerja keras para anggota KOMNAS HAM tidaklah (sepenuhnya) sia-sia. Di buku ini, pembaca disajikan Ringkasan Eksekutif dari Laporan KOMNAS HAM yang telah menjadi dokumen publik. Meskipun ‘hanya’ ringkasan, tetapi cukup memberikan gambaran yang lebih jelas, detail dan kronologis tentang tragedi 65 itu. Termasuk bagaimana tinjauan dari sisi hukum, faktor-faktor eksternal yang saling mempengaruhi dan upaya membongkar bagaimana rantai komando, siapa pelaku, serta penanggungjawab atas peristiwa yang terjadi. Kemudian diakhiri dengan rekomendasi perlu dilakukan penyelidikan dan penyelesaian yang berorientasi pada keadilan.
Selain Ringkasan Eksekutif KOMNAS HAM, di buku ini juga ada laporan sebuah tim penyelidik pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Soeharto. Ada pula beberapa tulisan lain yang bertema 65. Seperti tulisan Asvi Warman Adam tentang pelanggaran HAM berat dalam kasus Pulau Buru, tulisan Yosef Djakababa tentang perlunya narasi alternatif mengenai tragedi 65 dan tulisan Nurlaela A.K. Lamasitudju tentang upaya konkret dalam rangka rekonsiliasi atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Menyelesaikan buku ini di momen #SeptemberHitam, tentu meninggalkan kesan tersendiri. Aku merasa tersadar dan masih memiliki harapan bahwa suatu saat (entah kapan) Indonesia bisa lepas dari beban masa lalunya. Memang tidak mudah, kenyataannya hingga kini, masih ada pihak-pihak yang menutup-nutupi pelanggaran HAM pada masa lalu, bahkan kalau bisa dilupakan saja. Supaya kejahatan mereka tidak terkuak ? atau merasa sudah terlanjur nyaman dengan ‘kemenangan’ dan kisah-kisah heroisme yang menguntungkan mereka ?
Apapun motifnya, narasi-narasi tentang tragedi 65 yang hanya berpijak pada menang-kalah, jahat-baik, hitam-putih, terasa tak relevan lagi. Pasca Reformasi, mulai banyak kesaksian dan narasi-narasi ‘alternatif’ yang muncul, karena selama puluhan tahun terbungkam. Dari kesaksian mereka inilah, kita terbantu dalam upaya memahami tragedi 65 secara lebih utuh. Mungkin inilah yang membuat nyala lilin harapan itu masih ada. Narasi-narasi alternatif ini perlu terus diproduksi agar generasi sekarang dan yang akan datang bisa memahami secara menyeluruh mengenai konteks dan kompleksitas situasi pada masa lalu.
Tragedi 65 merupakan luka sekaligus beban bagi sejarah bangsa. Untuk itu upaya-upaya penyelesaian mendesak untuk dilakukan. Pengungkapan kebenaran adalah hal mutlak, dengan tetap mengingat aspek-aspek kemanusiaan, serta mengedepankan kejujuran, keadilan dan rekonsiliasi. Jika tidak, bagaimana bangsa ini bisa maju sedangkan kita masih terbebani luka dan trauma masa lalu ?
"Kompleksitas dinamika politik Indonesia tahun 1950-an dan 1960-an diabaikan begitu saja. Mengapa demikian ? Karena tujuannya sangat jelas untuk menjustifikasi kekuasaan Presiden Soeharto dengan segala system represifnya selama 32 tahun berikutnya."
- DR. Baskara T. Wardaya, SJ -