Judul Buku : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : 379 halaman
Tahun Terbit : 2017
Kategori : Fiksi, Novel-Sejarah
My Rated : 5/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas buku yang mengangkat kisah penghilangan paksa para aktivis di penghujung rezim Orde Baru. Judulnya Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
#DESKRIPSI
Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
#ULASAN
Laut Bercerita merupakan novel yang mengangkat kisah kelamnya perjuangan melawan ketidakadilan di era 90-an, atau menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Novel ini terinspirasi dari kesaksian Nezar Patria, saksi hidup yang mengalami horor penyiksaan setelah diculik pada Maret 1998. Dari sini, Ibu Leila S. Chudori tertarik menuliskannya dalam sebuah karya novel, yang sekarang banyak mendapat apresiasi. Bahkan, dalam proses penulisannya, beliau melakukan riset selama lima tahun dengan mewawancarai berbagai narasumber, termasuk keluarga korban. Itulah yang membuat novel ini terasa bernyawa !
Novel ini dibagi menjadi dua bagian. Di bagian pertama, kita akan mendengarkan cerita dari sudut pandang Biru Laut Wibisana. Laut, itulah nama panggilannya, menurut saya bukanlah tokoh fiktif yang mewakili satu orang, melainkan mewakili berbagai karakter mahasiswa pada masa itu. Laut bersama kawan-kawannya dalam kelompok Winatra-Wirasena mempunyai visi untuk mengubah wajah Indonesia yang penuh kegelapan waktu itu agar menjadi lebih terang, meski dari hal-hal kecil seperti mendampingi petani dan buruh.
“Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali…” adalah jiwa novel ini. Kalimat yang membuat Laut dan kawan-kawannya berani untuk terus berjuang, meski dicap sebagai komunis dan ditekan dengan bayangan ‘tembak ditempat.’
Sesak, marah dan pilu yang kurasa dibagian pertama novel ini semakin membuncah dibagian kedua. Masih terbayang bagaimana para pemuda ini diculik, dibungkam, remuk redam tubuhnya disiksa, sebagian dibebaskan dengan trauma yang mendalam, dan sebagian lainnya dihilangkan paksa. Dibagian kedua ini kita akan mendengarkan cerita dari sudut pandang keluarga korban yang disampaikan Asmara Jati, adik Biru Laut. Disini aku dibuat larut dengan rasa kehilangan dan kehampaan yang menyelimuti keluarga para korban. Para keluarga korban bahkan masih berjuang hingga kini, lewat aksi kamisan di depan istana negara. Terus menerus menuntut keadilan, masih berharap suatu hari, keadilan itu akan tiba, entah kapan ?
Pilu. Meski bukunya sudah kututup, tapi pilu yang kurasa belum juga kelar. Rangkaian kalimat yang ditulis Ibu Leila S. Chudori ini seakan bernyawa. Kata-katanya jujur, kritis, dan membuat hati ini terkikis. Peristiwa yang dikisahkan terasa dekat. Alur ceritanya meskipun maju mundur, namun terasa mengalir deras, sangat intens. Buku ini aku rekomendasikan untuk dibaca, paling tidak sekali seumur hidup. Khusus untuk para pemuda, buku ini akan mengingatkan kita tentang horor dan represifnya masa-masa Orde Baru. Harapannya, kita bisa meresapi, mengingat dan mengambil pelajaran dari perjuangan panjang para pemuda dalam menegakkan kebenaran, kebebasan dan keadilan. Barang mewah yang seharusnya dijunjung tinggi di negeri yang mengaku demokrasi. #JasMerah
"Jangan takut kepada gelap. Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terangmeski hanya secercah, meski hanya di ujung Lorong. Tapi, menurut Sang Penyair, jangan sampai kita tenggelam dalam kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputus-asaan dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)