Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : GPU
Tebal : 135 halaman
Tahun Terbit : 2015
Kategori : Fiksi, Novel, Sastra
My Rated : 3,5/5
Hallo, Sobat Reader ! Kali ini aku mau mengulas salah satu buku fenomenal karya Sapardi Djoko Damono yang pernah aku baca di IPUSNAS. Buku ini berjudul Hujan Bulan Juni.
#DESKRIPSI
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.
Dari puisi menjadi lagu, lalu komik, kemudian novel (bahkan) buku mewarnai, kini “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono beralih wahana menjadi film.
#ULASAN
Novel Hujan Bulan Juni ini menceritakan kisah cinta sepasang dosen muda yang penuh lika-liku. Sarwono merupakan seorang Antroplog sedangkan Pingkan dosen sastra Jepang. Mereka memiliki latar belakang sosial, budaya, pemikiran dan agama yang berbeda. Dari perbedaan ini sebenarnya mudah ditebak bagaimana alur cerita ini berjalan. Seperti kisah cinta pada umumnya, keduanya akan berusaha mengatasi perbedaan itu, hidup penuh toleransi, mencari kompromi yang bisa dijalani dan tentu harus siap menghadapi banyak rintangan dan halangan, tak terkecuali dari keluarganya sendiri.
Meskipun dari segi cerita tidak luar biasa, tetapi novel ini punya sisi istimewanya sendiri. Pertama, penokohan Sarwono sebagai lelaki yang gemar menulis puisi. Jelas ini adalah roh yang disalurkan oleh Eyang Sapardi. Jadi, pembaca akan banyak menjumpai puisi-puisi romantis Sarwono kepada Pingkan. Bahkan, dengan puisi pula novel ini ditutup. Kedua, detail latar budaya dari kedua tokoh ini dieksplor dengan baik oleh Eyang Sapardi. Salah satunya beliau memasukkan legenda romantisme masa lalu yang melatarbelakangi penamaan “Pingkan.” Ketiga, pemilihan diksi dan rangkaian kalimat puitis khas Eyang Sapardi. Pastinya ini yang membuat novel Hujan Bulan Juni unik.
Harus diakui sih aku cukup kelelahan membaca novel ini. Walaupun hanya 135 halaman, tetapi gaya bercerita dari Eyang Sapardi ini memang perlu ketabahan untuk memahaminya. Alurnya juga lompat-lompat kadang merasa bingung sendiri. Jadi, menurutku lebih mudah membaca puisi-puisi beliau daripada novel ini -walaupun puisinya juga kadang tidak mudah dicerna. Terlepas dari semua itu, saya tetap salut dengan Eyang Sapardi yang melahirkan karya Hujan Bulan Juni dari puisi hingga bisa diadaptasi menjadi film. Kutipan favoritku :
"...bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam, Sobat Reader ! Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar, kesan atau pesan :)