Peradaban
manusia di abad ke-21 sudah semakin modern. Globalisasi, perkembangan
teknologi, digitalisasi, saling berkelindan mengisi dimensi-dimensi kehidupan
masa kini. Mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara, semua dituntut beradaptasi dengan kebudayaan modern yang tak
kenal batas ruang dan waktu. Berbagai teknologi dengan segala kecanggihannya
hadir memikat umat manusia dengan sifat-sifatnya yang praktis, cepat, efektif,
dan efisien. Sayangnya, kemudahan yang diberikan oleh teknologi menyisakan efek
samping berbahaya berupa kerusakan lingkungan. Efek rumah kaca, polusi udara,
pencemaran air, hutan gundul, tumpukan sampah yang sulit terurai, krisis iklim,
dan masih banyak lagi, adalah ekses dari aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia yang
tak ada habisnya.
Sikap manusia yang tergantung pada
teknologi memang tak terelakkan. Namun, bukan berarti kita menutup mata terhadap
kerusakan alam yang ada dan nyata mengancam keberlangsungan hidup generasi
mendatang. Oleh karenanya, diperlukan kesadaran bersama dari diri kita masing-masing
untuk memulai, sedikit demi sedikit, membudayakan hidup ramah lingkungan. Hal
ini bisa distimulasi dengan menginternalisasi nilai-nilai ramah lingkungan yang
melekat dalam kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia. Berikut merupakan
kisah menarik dari salah satu suku di Indonesia yang senantiasa menjaga
kearifan lokal dan hidup berdamai dengan alam. Kisah ini saya rangkum dari
berbagai sumber dan semoga dapat menjadi refleksi bagi kita semua.
Mengenal
Suku Baduy
Masyarakat
Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih
mempertahankan nilai-nilai budaya yang diyakininya ditengah kemajuan peradaban.
Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang. Adat, budaya, dan
tradisi masih kental mewarnai kehidupan masyarakat baduy. Hal utama yang
mewarnai keseharian mereka, yaitu bersahabat dengan alam yang alami dan hingga
saat ini masyarakat Baduy masih berusaha tetap bertahan pada kesederhanaannya
di tengah kuatnya arus modernisasi di segala segi (Kameswari, 2020).
Kepercayaan
masyarakat Kanekes atau suku Baduy yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar
pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes atau suku Baduy.
Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa
perubahan apapun’, atau ‘perubahan sesedikit mungkin’. Kelompok masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan
dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang
paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok
masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang
tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam (Suryani, 2014).
Masyarakat suku
Baduy adalah cerminan masyarakat adat yang senantiasa kukuh terhadap
nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya. Menurut keyakinan mereka, menjaga
dan memelihara alam adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar. Hal ini
bertujuan agar tetap terjaganya keseimbangan alam sehingga dapat bermanfaat
bagi kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan manusia.
Hidup
Sederhana
Sederhana
dan kesederhanaan merupakan titik pesona yang melekat pada suku Baduy. Hingga
saat ini suku Baduy masih tetap bertahan pada kesederhanaannya di tengah
kuatnya arus modernisasi di segala segi. Bagi mereka kesederhanaan bukanlah
kekurangan dan ketidakmampuan, akan tetapi menjadi bagian dari arti kebahagiaan
hidup sesungguhnya. Di tengah kehidupan modern yang serba nyaman dengan
listrik, kendaraan bermotor, hiburan televisi serta tempat-tempat hiburan yang
mewah, suku Baduy masih setia dengan kesederhanaan, hidup menggunakan
penerangan lilin atau lampu minyak (lampu templok). Tidak ada sentuhan
modernisasi disana, segala sesuatunya sederhana dan dihasilkan oleh mereka
sendiri, seperti makan, pakaian, alat-alat pertanian dan sebagainya. Meski
demikian, mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada disekitarnya.
Kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya adalah ajaran
utama suku Baduy. Dari kedua unsur tersebut, dengan sendirinya akan muncul rasa
gotong royong dalam kehidupan mereka. Tidak ada rasa iri satu dengan lainnya
karena semuanya dilakukan secara bersama-sama. Kepentingan sosial selalu dikedepankan
sehingga jarang dijumpai kepemilikan individu. Tidak ada kesenjangan sosial
maupun ekonomi antara individu pada suku Baduy (Suryani, 2014).
Bagi masyarakat Baduy, kesederhanaan
ditengah perkembangan zaman bukan berarti ketertinggalan. Kesederhanaan justru
memberi arti kebahagiaan yang sesungguhnya, menjalani hidup dengan apa adanya, mensyukuri
yang ada, dan yang terpenting bagi mereka semesta terpelihara.
Bersahabat
dengan Alam
Segala
hal yang alami, yang berhubungan dengan alam adalah sahabat suku Baduy. Hal ini
terlihat dari letak geografis mereka tinggal. Lingkungan tempat tinggal mereka
tidak dijangkau oleh transportasi modern, dan terpencil di tengah-tengah
bentangan alam pegunungan, perbukitan rimbun, serta hutan lengkap dengan sungai
dan anak sungai, juga hamparan kebun dan ladang (huma). Suku Baduy secara umum
telah memiliki konsep dan mempraktikan pencagaran alam (nature conservation).
Misalnya mereka sangat memperhatikan keselamatan hutan, hal ini mereka lakukan
dengan menjaga hutan (Suryani, 2014). Kearifan lokal suku Baduy dengan menjaga
kelestarian hutan ini agaknya menampar para manusia modern yang memiliki
kewenangan menjaga hutan Indonesia. Pasalnya, menurut data dari Global
Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara
tahun 2002 dan 2020 (BBC News, 2021).
Ada
beberapa kebijakan adat yang diberlakukan di Baduy Dalam. Pertama, larangan
panen setahun dua atau tiga kali karena masyarakat Baduy khawatir tubuh mereka akan
terlalu kelelahan jika bekerja terlalu keras. Kedua, larangan menggunakan
barang-barang hasil produksi pabrik, seperti sabun, shampo dan pasta gigi. Bahkan,
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida buatan pabrik juga dilarang di daerah
ini. Untuk mengakalinya, masyarakat Baduy menggunakan daun cicaang atau daun
honje untuk keperluan mandi dan menerapkan pertanian organik (Rodhiya, 2018).
Ketaatan masyarakat Baduy dalam menerapkan
hukum adat inilah yang akhirnya membuat mereka hidup bersahabat dengan alam,
menerapkan nature conservation sehingga hutan tetap utuh, tidak
mencemari sungai sehingga aliran airnya bersih, dan cukup panen setahun sekali
agar keseuburan lahan pertanian tetap terjaga.
Pertanian
yang Ramah Lingkungan
Aktivitas ekonomi suku Baduy untuk
menunjang kehidupan perekonomiannya adalah bertani. Aspek ekonomi yang
diajarkan hanya sederhana yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap menjaga
keseimbangan alam. Menurut suku Baduy, sistem berladang yang mereka kerjakan
sesuai dengan kepercayaan serta ideologi hidup mereka, yaitu untuk tidak
membuat perubahan secara besar-besaran pada alam karena justru akan menimbulkan
ketidakseimbangan alam. Dengan sistem berladang, mereka tidak melakukan perubahan
bentuk alam karena mereka menanam mengikuti alam yang ada. Mereka menanam padi
dan tumbuhan lainnya sesuai dengan kontur lereng dan mereka tidak membuat
terasiring. Sistem pengairan tidak menggunakan irigasi teknis, tetapi hanya
memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan penggunaan air sungai atau mata air
untuk mengairi sawah karena ada anggapan pada suku Baduy bahwa membelokkan arah
sungai akan merusak keseimbangan alam (Suryani, 2014).
Pengobatan
Tradisional
Dalam
hal kesehatan, suku Baduy memilih tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional
mereka. Berbagai penyakit yang menimpa suku Baduy diatasi dengan cara
tradisional yaitu diobati oleh obat-obatan alami yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Sedangkan untuk peralatan hidup mereka menggunakan tumbuhan
bambu sebagai teman hidupnya. Bambu dengan segala kelebihannya telah
menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidup
manusia. Hampir tidak ada dari bagian tumbuhan ini, mulai dari akar hingga pucuk
dan daun-nya yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu sering dipakai sebagai
bahan ramuan obat, pucuk (rebung) bambu dibuat sayuran, dan batang bambu dewasa
untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah tempat bekas rumpun bambu
adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang (Suryani, 2014).
Di tengah ingar-bingar perkembangan
arus teknologi dan informasi yang membawa banyak masyarakat Indonesia menjadi
manusia modern, ternyata masih ada sekelompok masyarakat tradisional yang tetap
memegang teguh kearifan lokalnya. Kelompok masyarakat ini dikenal dengan Suku
Baduy yang bermukim di kaki pegunungan Kendeng, Banten. Masyarakat Baduy adalah
eksistensi unik dari manusia yang memegang teguh ajaran leluhurnya untuk
senantiasa menjaga dan melestarikan alam. Nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran tersebut mereka implementasikan secara nyata dalam kehidupan yang
sederhana, bersahabat dengan alam, dan memanfaatkan apa yang alam sediakan
untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Kisah-kisah seputar
masyarakat Baduy yang hidup berdamai dengan alam seperti ini layak
disebarluaskan, diapresiasi, dan dijadikan refleksi bagi masyarakat umum. Tentu
saja bukan untuk menjiplak apa yang diterapkan masyarakat Baduy, karena rasanya
itu tidak mungkin terjadi. Maka, refleksi dari nilai-nilai karakter seperti
hidup ramah lingkungan dan tidak merusak alam sekitar hendaknya
terinternalisasi dalam diri kita masing-masing. Sehingga, bermula dari
kesadaran individu tentang rasa cinta pada alam, harapannya dapat berkembang
menjadi kesadaran kolektif bahwa manusia memang tidak bisa hidup tanpa alam.
Daftar
Pustaka:
BBC News.
2021. Indonesia Termasuk Negara Pembabat Hutan Terbanyak, Menteri LHK:
'Pembangunan Era Jokowi Tidak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi'. Diakses
melalui website https://www.bbc.com/, 27 Mei 2023 (09.23 WIB).
Kameswari,
D. and Yusup, M., 2020, July. Kearifan Lokal Bercocok Tanam Pada Masyarakat
Pedalaman Suku Baduy. In SINASIS (Seminar Nasional Sains) (Vol.
1, No. 1).
Rodhiya,
F. 2018. Kesejahteraan Ramah Lingkungan Suku Baduy. Diakses melalui website https://www.hipwee.com/, 26 Mei 2023 (08.35 WIB).
Suryani,
I., 2014. Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy (Studi Kasus
Pada Acara Feature Dokumenter “Indonesia Bagus” di Stasiun Televisi Net. TV). Musãwa
Jurnal Studi Gender Dan Islam, 13(2), pp.179-194.